Senin, 01 Desember 2008

Guru Yang Berkualitas

Dalam proses belajar mengajar Guru harus menguasai dan menerapkan strategi pembelajaran secara kreatif, dan hal ini bisa didapatkan oleh guru dengan banyak hal, antara lain:
  1. Mengikuti pelatihan-pelatihan, pelatihan guru kreatif misalnya,
  2. Banyak membaca buku yang menunjang pemahaman guru untuk proses belajar mengajar yang ia jalankan.
  3. Sebelum guru menyampaikan bahan ajar kepada para siswa hendaknya guru mendiskusikan terlebih dahulu dengan sesam guru atau para ahli yang memahami masalah yang akan guru sampaikan
Guru dituntut untuk bisa kretif karena harus mempunyai terobosan-terobosan baru guna meningkatklan prestasi siswa yang ia didik, guru sebagai kreator dan inovator karena itu potensi siswa tergantung pada potensi guru.
Dalam kurikulum KTSP yang diterapkan saat ini siswa mendapatkan banyak keuntungan, karena metode yang terdahulu terpusat hanya kepada guru saja tanpa melihat potensi yang ada pada diri siswa dan banyak memakai metode ceramah akibatnya siswa tidak dapat dapat menyerap sampai tuntas apa yang telah dijelaskan oleh guru. Kini KTSP menuntut siswa untuk lebih aktif dalam proses belajar mengajar.
Saat ini kita bisa menyaksikan banyak metode yang dicetuskan oleh banyak tokoh, antara lain
metode: cooperative learning (pengetahuan kooperatif) potongan pembelajaran (tipe jigsaw) yang menekankan pada kreativitas, inovasi, dan variasi belajar siswa.
Information Search
(mencari informasi) cara ini telah digunakan oleh banyak guru saat mengajar, tetapi terkadang kurang maksimal karena hanya memberikan perintah membaca sebuah artikel atau beberapa halaman buku tanpa memberikan tanggung jawab kepada siswa yang mengakibatkan siswa malas dalam menjalankan perintah membaca. dalam metode ini hendaknya guru menyertakan beberapa pertanyaan sehingga siswa lebih fokus dalam membaca karena berusaha untuk konsentrasi guna menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru kepada mereka.

Rabu, 02 April 2008

Pendidikan Bukan Paksaan

Nisa seorang wanita yang merasa terkekang karena paksaan orang tuanya yang menginginkan Nisa untuk menjadi seorang dokter. Pendidikan yang ia jalani, ia rasakan bagaikan memikul beban yang begitu berat, karena hatinya bukanlah seorang dokter yang menjadi keinginan kedua orang Tuanya. Ia merasa belum menemukan seperti apa jati dirinya.
Di lingkungan keluarganya pendidikan memang dinomor satukan. Karena semua keturunan dari kakek buyutnya adalah orang yang terpelajar dan sukses dalam meraih kehidupan yang layak. Oleh karena itu orang tua Nisa sangat menginginkannya untuk menjadi seorang dokter, dengan menjadi dokter kehidupan di masa depannya akan cerah, dan kedua orang tuanya tidak menginginkan kalau ia terjebak dalam pergaulan yang salah dan merusak citra nama baik kelurganya yang selama ini dipandang baik oleh masyarakat.
Nisa merasa bahwa hidupnya memang telah diatur dan tidak ada baginya untuk memilih jalan hidupnya.
Rini, teman dekat Nisa merasa kasihan dengan apa yang dialami Nisa, Rini merasa Nisa mempunyai bakat yang terpendam yaitu keahliannya dalam bidang menulis. Rini tahu banyak hasil tulisan Nisa yang Nisa tulis dalam buku pribadinya, dan itu sunguh luar biasa. Rini yakin bahwa menjadi seorang penulislah yang diinginkan oleh Nisa.
Suatu hari Rini mengajak Nisa untuk mengikuti lomba menulis cerita (cerita pendek), dan terbukti Nisa lah yang paling bagus dan mendapat juara pada waktu itu. Akhirnya salah seorang juri yang merupakan seorang penulis terkenal mengajaknya untuk mengembangkan hasil karya tulisnya dan dengan senang hati Nisa pun menerimanya.
Lebih dari satu buah buku telah ia terbitkan, dan ternyata banyak di kalangan masyarakat yang menyukai hasil karya Nisa. Buku yang diterbitkan banyak terjual di masyarakat, dan ia pun menjadi penulis terkenal.
Kedua orang tua Nisa mengetahui akan hal itu, dengan nasihat dan masukan dari keluarganya kedua orang tua Nisa Pun mengerti dan menerima atas apa yang telah diraih oleh Nisa, dan memang orang tua Nisa pun sesungguhnya menyadari bahwa bukan seorang dokter yang diinginkan Nisa dan selama ini telah membuatnya terkekang serta memendam bakat yang dimilikinya. Pendidikan memang sangat diperlukan dan penting bagi setiap orang tapi tidak dengan paksaan karena setiap orang berhak untuk menentukan pilihannya.

Rabu, 12 Maret 2008

Psikologi perkembangan

SMART BRAIN-GRADASI LEARNING

DAHSYATKAN DIRI ANDA DENGAN SEGALA POTENSI DARI ALLAH YANG ANDA MILIKI

Sabtu, 2008 Januari 12

PSIKOLOGI PERKEMBANGAN 5

Oleh : RR. Ardiningtiyas Pitaloka, M.Psi.

Jakarta , 08 Januari 2007


Bila banyak pihak mencemaskan individu yang berada pada masa remaja, bagaimana dengan kecemasan yang dialami pada remaja itu sendiri?

Period of storm and stress

Banyak alasan mengapa masa remaja menjadi sorotan yang tidak lekang waktu. Psikologi sendiri memandang periode ini sebagai periode yang penuh gejolak dengan menamakan period of storm and stress. Arnett menarik tiga tantangan tipikal yang secara general biasa dihadapi oleh remaja; (1) konflik dengan orangtua, (2) perubahan mood yang cepat, dan (3) perilaku beresiko (dalam Laugesen, 2003)

Peran teman sebaya yang mulai ‘menggeser’ peran orangtua sebagai kelompok referensi tidak jarang membuat tegang hubungan remaja dan orangtua. Teman sebaya menjadi ukuran bahkan pedoman dalam remaja bersikap dan berperilaku. Meskipun demikian studi Stenberg menemukan bahwa teman sebaya memang memiliki peran yang penting bagi remaja, namun pengaruh teman sebaya cenderung pada hal-hal yang berhubungan dengan gaya berpakaian, musik dan sebagainya. Sementara untuk nilai-nilai fundamental, remaja cenderung tetap mengacu pada nilai yang dipegang orangtua termasuk dalam pemilihan teman sebaya, biasanya juga mereka yang memiliki nilai-nilai sejenis (dalam Perkins,2000).

Benarkah demikian? Agaknya para orangtua harus berbesar hati dan membuka diri agar tidak tertipu oleh model rambut, mode pakaian, musik yang berdebum di kamar remaja, juga gaya bahasa yang tidak jarang membuat telinga terasa penuh. Kedekatanlah yang bisa membuka mata dan hati untuk melihat lebih jernih nilai-nilai yang sebenarnya dipegang remaja. Bukankah penemuan Stenberg menjadi angin segar dan harapan yang menggembirakan di mana orangtua atau keluarga tetap menjadi model utama. Hanya penampilan tentu tidak selalu sama, era digital bukankah membawa berjuta pilihan? Tidak hanya bagi remaja, tetapi juga orangtua.

Mood yang naik turun juga sering terdengar dari celetukan remaja, “Bete niiih..” Ada dua mekanisme di mana mood mempengaruhi memori kita. (1) Mood-dependent memory ,suatu informasi atau realita yang menimbulkan mood tertentu, atau (2) Mood congruence effects, kecenderungan untuk menyimpan atau mengingat informasi positif kala mood sedang baik, dan sebaliknya informasi negatif lebih tertangkap atau diingat ketika mood sedang jelek (Byrne & Baron, 2000). Bisa dibayangkan bagaimana perubahan mood yang cepat pada remaja terkait dengan kecemasan yang mungkin terbentuk.

Remaja juga mempunyai reputasi berani mengambil resiko paling tinggi dibandingkan periode lainnya. Hal ini pula yang mendorong remaja berpotensi meningkatkan kecemasan karena kenekatannya sering mengiring pada suatu perilaku atau tindakan dengan hasil yang tidak pasti. Keinginan yang besar untuk mencoba banyak hal menjadi salah satu pemicu utama. Perilaku nekat dan hasil yang tidak selalu jelas diasumsikan Arnett membuka peluang besar untuk meningkatnya kecemasan pada remaja (dalam Laugesen, 2003)

Empat model kognitif bagi kecemasan remaja

Laugesen (2003) dalam studinya tentang empat model kognitif yang digagas oleh Dugas, Gagnon, Ladouceur dan Freeston (1998) menemukan bahwa empat model kognitif tersebut efektif bagi pencegahan dan perlakuan terhadap kecemasan pada remaja. Kecemasan merupakan fenomena kognitif, fokus pada hasil negatif dan ketidakjelasan hasil di depan. Hal ini didasari dari definisi Vasey & Daleiden (dalam Laugesen,2003) berikut;

“Worry in childhood and adolescence has been defined as primarily an anticipatory cognitive process involving repetitive, primarily verbal thoughts related to possible threatening outcomes and their potential consequences.”

Empat model kognitif itu ialah (1) tidak toleran (intoleransi) terhadap ketidakpastian, (2) keyakinan positif tentang kecemasan, (3) orientasi negatif terhadap masalah, serta (4) penghindaran kognitif.

Pemahaman tiap variabel tersebut;

(1) intoleransi terhadap ketidakpastian merupakan bias kognitif yang mempengaruhi bagaimana seseorang menerima, menginterpretasi dan merespons ketidakpastian situasi pada tataran kognitif, emosi dan perilaku;

(2) sejumlah studi menunjukkan bahwa orang yang meyakini bahwa perasaan cemas dapat membimbing pada hasil positif seperti solusi yang lebih baik dari masalah, meningkatkan motivasi atau mencegah dan meminimalisir hasil negatif, dapat membantu mereka dalam menghadapi ketakutan dan kegelisahan;

(3) orientasi negatif terhadap masalah merupakan seperangkat kognitif negatif yang meliputi kecenderungan untuk menganggap masalah sebagai ancaman, memandangnya sebagai sesuatu yang tidak dapat dipecahkan, meragukan kemampuan diri dalam menyelesaikan masalah, menjadi merasa frustrassi dan sangat terganggu ketika masalah muncul;

(4) penghindaran kognitif dikonsepsikan dalam dua cara, yakni (a) proses otomatis dalam menghindari bayangan mental yang mengancam dan (b) strategi untuk menekan pikiran-pikiran yang tidak diinginkan.

Studi Laugesen (2003) secara khusus menunjukkan dua hal penting yang bisa menjadi acuan; (1) intoleransi terhadap ketidakpastian dan orientasi negatif terhadap masalah merupakan target utama baik dalam pencegahan maupun perlakuan pada kecemasan yang berlebihan dan tidak terkendali pada remaja, (2) intoleransi terhadap ketidakpastian juga menjadi konstruk utama dalam kecemasan remaja. Hal lain yang sangat menarik dalam temuan Laugesen adalah intoleransi pada remaja berkorelasi dengan persepsi tentang tugas ambigu, namun tidak dengan kecemasan. Hal ini menunjukkan bahwa intoleransi dan kecemasan sebagai konstruk yang unik.

Intoleransi menjadi kunci penting dalam memahami kecemasan pada remaja. Secara logika bisa dipahami bahwa ketidakmampuan individu dalam menerima ketidakpastian sebagai salah satu kenyataan yang akan dihadapi cukup menggambarkan diri orang tersebut. Hal ini juga menarik untuk kembali melirik teori dan studi tentang diri. Laugesen (2003) juga menguji tingkat kecemasan (tinggi dan rendah), di mana intoleransi tetap berperan di dalamnya. Remaja atau individu yang bagaimana tepatnya yang berpeluang untuk mengalamai kecemasan tinggi, tidak terkendali, atau yang wajar?

Siapa Anda? Siapa saya?

Pada model kognitif orientasi negatif pada masalah, individu juga memiliki kecenderungan untuk meragukan kemampuan diri dalam menyelesaikan masalah yang datang. Hal ini menunjukkan peran self-efficacy dalam pembentukkan rasa cemas. Bandura (dalam Brown, 2005) menyatakan self-efficacy sebagai “a belief that one can perform a specific behavior,” dan “Self-efficacy is concerned not with the skills one has but with judgement of what one can do with whatever skills one possesses.” Individu dengan self-efficacy tinggi meyakini bahwa kerja keras untuk menghadapi tantangan hidup, sementara rendanhya self-efficacy kemungkinan besar akan memperlemah bahkan menghentikan usaha seseorang.

Pencarian identitas menjadi salah satu aikon pada masa remaja. Hal ini membawa kita untuk menelisik lebih jauh tentang self-concept yang ada maupun yang sedang terbentuk. Konsep diri merupakan cara individu memandang dirinya sendiri. Baron & Byrne (2000) merumuskan sebagai berikut, “self concept is one’s self identity, a schema consisting of an organized collection of beliefs and feelings about oneself.” Konsep diri berkembang sejalan dengan usia, namun juga merespons umpan balik yang ada, mengubah lingkungan seseorang atau status dan interaksi dengan orang lain. Pertanyaan “Siapa Anda? Siapa saya?” menjadi inti studi psikologi tentang konsep diri. Rentsch & Heffner (1994, dalam Byrne & Baron, 2000) menyimpulkan dari sekian ragam jawaban atas pertanyaan tersebut dalam dua kategori; (1) aspek identitas sosial dan (2) atribusi personal. Sebagian dari kita akan menjawab, Saya adalah arsitek, penulis, mahasiswa, dan lain sebagainya yang mengacu pada identitas sosial seseorang. Sebagian dari kita yang lain akan menjawab Saya periang, terbuka, pemalu, dan sebagainya yang lebih merujuk pada atribusi diri.

Sementara Rogers (2001) membagi konsep diri dalam dua kategori yang sedikit berbeda yakni (1) personal dan (2) sosial. Konsep diri personal adalah pandangan seseorang tentang dirinya sendiri dari kacamata diri, misalnya “Saya merasa sebagai seorang yang terbuka terhadap kritik.” Sedangkan konsep diri sosial berangkat dari kacamata orang lain, seperti, “Teman-teman di kampus melihat saya sebagai orang yang keras kepala,” biasanya kalimat ini akan berlanjut dengan koreksi dari pandangan dirinya sendiri seperti “…padahal saya hanya mempertahankan pendapat saya saja.” Atau justru kalimat yang membenarkan pandangan lingkungan terhadap diri, seperti “…memang saya merasa susah menerima perbedaan sih..” Rogers menambahkan bahwa konsep diri individu yang sehat adalah ketika konsiten dengan pikiran, pengalaman dan perilaku. Konsep diri yang kuat bisa mendorong seseorang menjadi fleksibel dan memungkinkan ia untuk berkonfrontasi dengan pengalaman atau ide baru tanpa merasa terancam.

Lebih lanjut, pembahasan konsep diri membawa kita pada self-esteem, sebagai evaluasi atau sikap yang dipegang tentang diri sendiri baik dalam wilyah general maupun spesifik. Para ahli psikologi mengambil perbandingan antara konsep diri dengan konsep diri ideal atau yang diinginkan. Semakin kecil perbedaan atau diskrepansi antara keduanya, semakin tinggi self-esteem seseorang, “He/she is what he/she wants to be.” Salah satu hasil yang dituju dalam terapi Rogerian (self-centered therapy) adalah peningkatan self-esteem atau menurunkan gap antara diri dan diri ideal dalam seseorang.

Budaya & Perkembangan Budaya

Satu lagi yang perlu dipertimbangkan adalah faktor budaya. Perbedaan budaya memiliki pengaruh pada individu dalam menilai pengalaman emosi. Studi menunjukkan, di masyarakat kolektif, self critical menjadi norma, sementara di masyarakat individual, self enhancement yang berlaku (Baron & Byrne,2000). Hal ini memberikan sedikit petunjuk tentang apa yang menjadi obyek perhatian individu dalam berpikir, bersikap dan bertindak. Apakah memang faktor eksternal yang lebih menentukan kecemasan remaja di masyarakat kolektif seperti Indonesia , di mana individu akan sangat terganggu jika tidak bisa memenuhi aturan main yang berkembang dengan lingkungan terutama teman sebaya? Ataukah justru pencapaian diri sudah mencuri perhatian remaja sebagai dampak dari era keterbukaan dengan kecanggihan teknologi informasi?



Masih terbuka banyak jalan untuk memahami kecemasan yang dialami remaja. Melengkapi studi Laugesen, self-efficacy, self-concept, self-esteem dan budaya menanti untuk digali khususnya pada remaja di Indonesia .

_________________________

Referensi:

Baron, Robert A, & Byrne, Donn (2000) Social psychology-ninth edition. Boston ; Allyn and Bacon.

Brown, Ulysses J. (2005) College students and AIDS awareness: the effects of condom perception and self-efficacy. College Student Journal, March 2005.

Laugesen, Nina (2003) Understanding adolescent worry: the application of a cognitive model. Journal of Abnormal Child Psychology, Feb.2003

Perkins, daniel F. (2000) Resiliency and trhiving in family and youth. Vol.1.No.1,March 2000

Rogers ,Carl (2001) Gale encyclopedia of psychology, 2nd ed. Gale Group,2001.

Minggu, 09 Maret 2008